Thursday, May 16, 2019

MEWAKAFKAN DIRI SENDIRI

MEWAKAFKAN DIRI SENDIRI

           Mungkin kita merasa aneh mendengar, baru-baru ini ada seorang elite di negeri ini mengumumkan bahwa dia akan mewakafkan dirinya sendiri untuk negeri ini. sepintas terdengar biasa saja, karena iitu hanya sebuah pernyataan sikap kepada publik bahwa dia akan mewakafkan jiwa dan raganya untuk negeri tercinta ini. namun, tak pelak ini juga memancing kontroversi dikalangan orang-orang yang berseberangan dengan dirinya. maka beberapa nyinyiran pun beredar di media sosial dengan ungkapan;
         " ada yang nulis surat wasiat di bulan puasa ini.  surat wasiat untuk dirinya sendiri.Aku Mewakafkan Diriku"...... mbok yang diwakafkan itu Tanah atau kekayaan lainnya, jangan diri sendiri. aya..aya wae..."

sebenarnya ungkapan mewakafkan diri ini sudah sering muncul sebelum-sebelumnya. dulu dalam program TVRI NASIONAL TANAH AIR BETA yang dipandu oleh Slamet Rahardjo dalam penutupannya memberikan tekanan statemen yang menarik bahwa kita membutuhkan seorang pemimpin Indonesia yang mewakafkan dirinya, kemampuannya demi kemajuan dan kesejahteraan keseluruhan rakyat, Bangsa & Negara.

ungkapan yang senada juga pernah diucapkan oleh K.H. A. Hasyim Muzadi, seorang tokoh Islam yang tidak asing lagi bagi kita, ia dikenal sebagai ulama kharismatik dan negarawan kelas nasional dan internasional, dalam sebuah artikel pernah dikutip ungkapannya bahwa " Seluruh Jiwa Raga Saya, Saya wakafkan untuk Islam dan bangsa Indonesia".

menarik lagi, dalam sebuah wawancara presenter Kompas TV dengan Prof. Dr. Nazarudin Umar, seorang Imam Besar MAsjid Istiqlal yang mengatakan bahwa ia telah mewakafkan dirinya untuk Allah, Agama dan Negara.
 
baru-baru ini calon presiden petahana Joko Widodo berpidato ditengah-tengah masa pendukungnya yang memadati acara kempanyeakbar digelora Bung Karno (GBK) Jakarta Sabtu, 13/4/2019 . dalam pidatonya Jokowi menegaskan akan mewakafkan dirinya bersama Kiai Haji Ma'ruf Amin untuk Kemakmuran Bangsa Indonesia.

dikalangan jamaah Ahmadiyah, istilah istilah ini sudah biasa mereka gunakan dilingkungan mereka. ini menunjukkan suatu pengertiam akan adanya pengkhidmatan kepada umat manusia seutuhnya khususnya para mubaligh yang melakukan pengkhidmatan seumur hidupnya untuk dakwah menyebarkan ISlam diselurh benua.

kita ketahui segala sesuatu yang kita miliki ini hakekatnya adalah milik Allah, termasuk diri kita sendiri. maka janganlah kita merasa berat menafkahkan harta dan rezeki di jalan Allah. ini dijelaskan dalam surat QS: al-Hadid:7:"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya....".
yang dimaksud dengan menguasai disini tentu saja bukan menguasai secara mutlak. karena hak milik yang sebenarnya hanyalah milik Allah.

oleh sebab itu, ketika kita seolah tidak memiliki apa-apa untuk diwakafkan. maka kekayaan bathin, jiwa, rohani atau keahlian/kemampuan bisa sebagai penyeimbang motivasi wakaf harta benda.
ketika ada bencana alam menyapa bumi nusantara, maka banyak para relawan yang berjibaku dengan alam, tanggap terhadap korban, serta mewakafkan tenaga dan kemampuannya untuk kepentingan umat tanpa mengharapkan imbalan apapun. maka mereka telah mewakafkan dirinya untuk kepentingan kemaslahatan umat. oleh sebab itu, sejatinya..kita wajib mewakafkan diri kita karena Allah dan di jalan Allah, niat dan imabalannya adalah berniaga, dan berjual beli dengan Allah.(QS: ash-Shaff ayat 10-12)





MEWAKAFKAN DIRI SENDIRI

Thursday, March 8, 2018

Perkembangan Studi Hadis di Lembaga Pendidikan Islam (Pesantren)  

Perkembangan Studi Hadis
di Lembaga Pendidikan Islam (Pesantren)

Oleh: Dr. Muslimah, S. Th.I, M. Ag
A. Pendahuluan
Diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Indonesia sebelum adanya kolonia Belanda, sistemnya sangat berbeda dengan sistem pendidikan modern.
Namun belakangan tak dapat dipungkiri bahwa pola pendidikan Islam di Indonesia telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Belanda yang saat itu menguasai Indonesia, Pemerintah Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia Barat, ini sedikit banyak telah mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia. Sehingga pada abad 20 M sistem pendidikan di Indonesia terdapat dua pola yaitu: 1. pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat yang sekuler yang tidak mengenal ajaran agama, 2. Pendidikan yang diberikan pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Dengan istilah lain para ahli mengatakan bahwa terdapat dua corak pendidikan yakni corak lama yaitu pondok pesantren dan corak baru yaitu sekolah-sekolah belanda. Walau pada akhirnya ada corak ketiga yaitu yang merupakan sintera dari corak lama dan corak baru. Corak pendiikan yang ketiga muncul sintesis, muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas yang muncul sejak tahun 1909, yang dipelopori oleh pembaruan Islam. Seperti Madrasah Diniyyah School yang didirikan oleh Zainuddin Labai El Yunusi 1890-1924, pada tahun 1915 sebagai sekolah agama petama yang dilaksanakan menurut sistem pendidikan modern yakni menggunakan alat tulis, dan menggunakan alat peraga. 
Namun demikian, pesantren hingga saat ini tetap menarik untuk dikaji oleh ilmuwan. Karena kehadiran pesantren di Indonesia dapat dikatakan sebagai representasi Islam di Indonesia. Dan pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama merupakan pusat pengemblengan santri untuk mendalami ajaran dan penyiaran agama Islam.
Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an menjadi penting untuk dikaji dan dipelajari secara intensif oleh umat Islam termasuk oleh kalangan santri di pondok pesantren. oleh sebab itu, pesantren memiliki peranan yang cukup penting dalam memajukan ilmu pengetahuan tentang hadis Nabi kepada masyarakat Indonesia.

B. Pendidikan Pondok Pesantren
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman walisongo.
Pesantren merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia. Pendiriannya dikarenakan adanya tuntutan zaman. Menurut pengertian dasarnya, pesantren adalah “tempat belajar santri”. sedangkan “pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana. Di samping itu juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti asrama.
Pesantren yang tumbuh subur dan berkembang di Indonesia merupakan warisan sistem pendidikan nasional yang paling merakyat. Di masa penjajahan Belanda, pesantren mengilhami jiwa patriotisme yang sewaktu-waktu membakar semangat perlawanan menghadapi kolonial Belanda. Karena di pesantren-pesantren terdapat sejumlah besar para santri yang ditempa semangat anti kezhalimandan penjajahan yang setiap saat bisa dikomandoi untuk berjihad oleh para kiyai yang punya kharisma tinggi dikalangan santrinya.
Dari metode pengajaran, kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren tidak diikat dengan kurikulum yang ketat, atau dinamakan juga dengan pondok pesantren tradisional (pesantren salafiyah). ini adalah sebutan bagi pondok pesantren yang mengkaji “kitab-kitab kuning” (kutub al-turats) yang tentu saja berbeda dengan pesantren modern. Di pesantren salaf ini hubungan antara kiyai dengan santri cukup dekat secara emosional. Kiyai terjun langsung dalam menangani santrinya. Sang kiyai yang biasanya adalah pendiri, pemilik, dan sekaligus pembina pesantren, menyampaikan pengajaran dengan cara membaca kitab-kitab tersebut, sedangkan para santri mendengarkan sambil memberi catatan pada kitab yang dikaji. Atau santri ditugaskan untuk membaca kitab, sementara sang kiyai atau ustadznya menyimak sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaan sang santri untuk mengetahui performance nya.
Sebaliknya, pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah), baik itu jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU dan SMK) maupun jalur sekolah berciri khas agama Islam (MI, MTs, dan MA). biasanya kegiatan pembelajaran kepesantrenan pada pondok pesantren ini memiliki kurikulum pondok pesantren yang klasikal dan berjenjang. Dan bahkan pada sebahagian kecil pondok pesantren pendidikan formal yang diselenggarakannya berdasarkan pada kurikulum mandiri. Atau bisa dikatakan juga sebagai pondok pesantren slafiyah plus. Yakni pondok pesantren yang menambah lembaga pendidikan formal dalam pendidikan dan pengajarannya.
Dilihat dari materi pembelajaran yang diajarkan dipondok pesantren, walau dengan metode yang berebeda-beda, namun secara umum meliputi :
a. Aqidah/Tauhid.
Pembelajaran Aqidah/Tauhid bertujuan menanamkan keyakinan tentang ketauhidan Allah dan rukun iman yang lain kepada santri.
b. Tajwid (Baca al-Qur’an)
Pengajaran baca al-Qur’an biasanya ditekankan pada beberapa hal, yaitu: Pertama, kemampuan mengenali dan membedakan huruf-huruf al-Qur’an (huruf hijaiyyah) secara benar; Kedua, kemampuan untuk mengucapkan atau melafalkan kata-kata dalam al-Qur’an dengan fasih sesuai dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hijaiyyah dari rongga mulut): Ketiga, mengerti dan memahami hukum-hukum atau patokan-patokan pembacaan al-Qur’an.
c. Akhlak/Tasawuf
Tujuan pembelajaran akhlak/tasawuf adalah membentuk santri agar memiliki kepribadian muslim yang berakhlak karimah (mulia), baik yang terkait dengan hubungan antara manusia dengan Allah atau hablun min Allah (hubungan vertikal) maupun yang terkait dengan hubungan antara sesama manusia atau hablun min al-nas (hubungan horisontal) serta hubungan dengan alam sekitar atau makhluk Allah yang lain.
d. Bahasa Arab
Mata pelajaran ini biasanya mendapatkan porsi besar dan posisi cukup penting dalam pembelajaran di pesantren, sehingga hampir di setiap pesantren selalu ada mata pelajaran ilmu alat yang meliputi Nahwu, Sharaf, dan Balaghah. Ada kalanya juga dimasukkan ke dalamnya ilmu Manthiq (logika). Tujuan pembelajaran ini adalah agar para santri mampu memahami al-Qur’an dan al-Hadits serta kitab-kitab lain yang berbahasa Arab.
e. Fiqh
Materi pembelajaran Fiqh atau syari’at Islam biasanya dibagi menjadi: Fiqh ibadah (ibadah dalam arti sempit/ritual); Fiqh Muamalat (tentang hubungan atau kerja sama antar manusia); Fiqh Munakahat (tentang pernikahan); dan Fiqh Jinayat (tentang pelanggaran dan pembunuhan). Pembelajaran ini biasanya terbagi beberapa tingkatan, yakni tingkat permulaan, tingkat menengah,dan tingkat tinggi. Fiqh Ibadah biasanya diberikan pada tingkat permulaan, sedangkan Fiqh Muamalat diberikan pada tingkat menengah. Pada tingkatan yang tinggi dipelajari Fiqh Munakahat dan Fiqh Jinayat. Selain itu, pada tingkat tinggi biasanya dilakukan perluasan wawasan dengan menjangkau fiqh-fiqh yang lain dan fiqh-fiqh dari berbagai madzhab.
f. Ushul Fiqh
Selain Fiqh, pesantren juga memberikan pembelajaran Ushul Fiqh. Ilmu ini berkaitan dengan dasar-dasar dan metode untuk menarik sebuah hukum (istinbath). Pada tataran tertentu Fiqh merupakan sebuah produk, sedangkan prosesnya tercakup dalam Ushul Fiqh.
g. Tafsir al-Qur’an
Secara garis besar, Tafsir al-Qur’an dibedakan menjadi dua macam, yakni Tafsir bi al-ra’yi (tafsir dengan rasio) dan Tafsir bi al-ma’tsur (tafsir yang menitikberatkan pada penggunaan ayat-ayat lain, hadits Nabi, dan pendapat sahabat). Penekanan pembelajaran Tafsir al-Qur’an di pondok pesantren terutama diberikaan pada: Pertama, kemampuan mengetahui kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (i’rab) serta mengetahui dan membedakan makna mufradat (pengertian kata-kata) ayat-ayat al-Qur’an baik ditinjau dari segi morfem (sharaf) maupun persamaan katanya (muradif); Kedua, asbabun nuzul, makkiyyah-madaniyyah, serta nasikh dan mansukh suatu ayat; Ketiga, kandungan ayat secara tekstual maupun kontekstual sehingga santri menemukan relevansi ayat itu dalam realitas kehidupan; Keempat, perbandingan penjelasan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an suatu kitab tafsir dengan kitab-kitab tafsir lainnya. Kelima, pada beberapa pesatren tertentu, kitab tafsir yang dibaca ditekankan pada kitab-kitab tafsir yang bercorak hukum (tafsir al-ahkam).
h. Ilmu Tafsir
Tidak banyak pesantren yang mengajarkan Ilmu tafsir, kecuali pesantren yang memiliki ciri khusus atau spesialisasi al-Qur’an. Ilmu ini bermanfaat untuk mengetahui tentang al-Qur’an dan sangat berguna sebagai alat bantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
i. Hadis
Pengajian Hadis pada tingkat awal biasanya bertujuan untuk memperkenalkan hadis secara tidak langsung dengan menonjolkan kandungan materinya. Oleh karena itu yang diajarkan adalah hadis-hadis yang pendek. Konsentrasi pengkajiannya berpusat pada matan dan dengan pembahasan yang sederhana saja, disesuaikan dengan kemampuan santri pada tingkat ini. Pada tingkat menengah (wustha) perhatian kepada sanad hadis mulai ditekankan, begitu juga terhadap rijal al-hadits dengan tetap memberikan perhatian pada kandungan matan. Pada tingkat tinggi (‘ulya), pengkajian hadits benar-benar telah memasuki tahap yang lengkap, yang meliputi pengetahuan tentang sanad dan variasi sanadnya, sosok dan karakter pe-rawi-nya, cara periwayatannya, sanad dan variasinya, serta asbab al-wurdnya, dan materi kandungannya.
j. Ilmu Hadis
Beberapa pesanren baru mengajarkan Ilmu Hadis pada tingkat menengah. Tujuan pengajian Ilmu Hadis pada tingkat menengah dan tingkat tinggi adalah agar para santri mengetahui seluk beluk hadis, dari mulai posisinya sebagai sumber hukum, sejarah penulisannya, kualitas dan jenis-jenisnya baik dilihat dari segi matan, sanad atau keduanya, kitab-kitabnya, perawi-perawinya, dan seterusnya. Pada tinggkat tinggi biasanya juga ditambah dengan ketrampilan takhrij al-hadis yaitu ketrampilan untuk menerapkan metode-metode yang ada. Dengan kemampuan takhrij ini diharapkan santri dapat melakukan kajian mandiri mengenai status dan kualitas hadits.
k. Tarikh (Sejarah Islam)
Tujuan pembelajaran Tarikh ialah untuk mengenal secara kronologis pertumbuhan dan perkembangan umat Islam semenjak masa Rasulullah SAW hingga masa kehidupan Turki ‘Utsmani. Pada tingkat awal, materi yang diberikan biasanya dibatasi hanya pada masa Rasulullah SAW. Pada tingkat tinggi biasanya materi yang diberikan mulai masa awal hingga masa temporer, namun tekanannya tidak hanya terbatas pada fakta sejarah, namun menjangkau makna dibalik fakta itu.
C. Perkembangan kajian hadis di Pondok Pesantren
1. Tokoh Kajian Hadis di Pesantren
Syekh Mahfuz al-Tirmasi (w.1919/1920 M) tercatat sebagai ulama Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap bidang hadis. Mahfuzh sendiri berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Ayahnya Kiyai Abdullah ibn Abd al-manan Dipomenggolo adalah pimpinan Pondok Pesantren Tremas PAcitan yang didirikan ayahnya. Mahfuz dan adiknya Dimyati dikirim ke Mekkah kemungkinan pada perempat terakhir pada abad ke-19 M. mahfuz menetap di Mekkah sedangkan adiknya pulang ke Indonesia dan meneruskan kepemimpinan pesantren Tremas.
Mahfuzh dikenal sebagai pakar hadis Bukhari. Ia diakui sebagai pemegang isnad yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran shahih Bukhari. Ia berhak mendapatkan hak untuk memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai shahih Bukhari. Ijazah tersebut verasal langsung dari Imam Bukhari yang ditulis sekitar 10 abad yang laludan diserahkan secara berantai kepada 23 generai ulama utama yang menguasai Shahih Bukhari. Maka Mahfuzh adalah bagian dari mata rantai yang terakhir. muridnya adalah Syekh Hasyim Asyari. Maka Hasyim pun mendapatkan ijazah mengajar mengajar shahih Bukhari dari gurunya ini.
Kesaksian mengenai wibawa Hasyim di bidang hadis ini dituturkan oleh Saifuddin Zuhri (Mantan Menteri Agama RI 1962-1967) yang ketika masih muda sempat beberapa kali melakukan kunjungan singkat ke Tebuireng. Kiyai dari pesantren manapun bisa saja membaca Kitab Shahih Bukhari, tetapi tetap saja daya tarik kharismatik hasyim Asy’ariy ini dalam memberikan pengajian Shahih Bukhari mendapat tempat yang paling istimewa di kalangan pesantren. Disebutkan pula konon Hasyim buka saja menguasai kitab Shahih Bukhari tetapi hafal 7.275 buah hadis di dalam Kitab tersebut.  
2.  Literatur hadis di pondok pesantren
Perhatian yang besar terhadap hadis pada abad ke-20 ditandai dengan adanya kitab-kitab hadis yang dijadikan bahan ajar kurikulum di surau, madrasah dan pesantren. Mahmud Yunus mencatat bahwa pada tahun 1900-1908 kitab hadis sudah diajarkan diberbagai surau yang menajadi cikap bakal lahirnya madrasah di Sumatera. Berikut daftar kitab hadis dan ilmu hadis di madrasah dan pesantren antara tahun 1900-1960 menurut penelitian Mahmud Yunus:
No
Judul Kitab
Pengarang
1
Shahih Bukhari
Imam Bukhari
2
Fath al-Bari
Ibn HAjr al-Asqalaniy
3
Jawahir al-Bukhari
Mustafa M. Imarah
4
Tajrid al-Sarih
Ahmad al-Sharji al-Zabidi
5
Shahih Muslim
Muslim
6
Al-Arba’in al-Nawawiyah
Abu Zakariyyah Muhy al-Din al-Nawawiy
7
Riyadh al-Shalihin
Abu Zakariyyah Muhy al-Din al-Nawawiy
8
Bulugh al-Maram
Ibn Hajar al-Asqalaniy
9
Subul al-Salam
Muhammad ibn Ismail al-Kahlani
10
Al-Adab al-Nawawiy
Muhammad abd al’Aziz al-Khuliy
11
Nayl al-Awthar
Muhammad ibn ‘Ali al-Sawkaniy
12
Ilm Musthalah al-hadis Matn bayquniyyah
Thaha ibn Muhammad al-Fattah al-BAyquniy
13
Syarh Bayquniyyah
‘Athiyah al Ajhuri
14
Ilmu Musthalah al-hadis
Mahmud Yunus
15
Minhat al-Mughith
Hasan Mas’udi
16
Nubhat al-Fikr li Ibn Hajr al-’Asqalaniy
Ibn Hajr al-Asqalaniy

Dari sejumlah kitab-kitab tersebut di atas, maka kumpulan hadis paling populer yang dapat ditemukan hampir di semua pesantren adalah Bulughul al-maram dan Riyadh al-Shalihin.
Melihat dari literatur yang digunakan, kajian hadis yang dijarkan lebih menitikberatkan pada aspek ajaran Islam yang terkait dengan fiqih, dan akhlak. Kitab riyadh al-Shalihin, al-Adab al-Nawawiy dan Bulugh al-Maram merupakan kitab yang berisi ajaran tentang akhlak dan fikih. Selain itu kitab hadis primer yang umum digunakan pun terbatas hanya pada shahih Bukhari dan shahih Muslim. Hal ini tentu saja terkait dengan tujuan utama pengajaran hadis di pondok pesantren iotu adalah untuk meningkatkan pengamalan keagamaan di pesantren dan madrasah, bukan untuk membekali para muridnya untuk dapat melakukan penelitian hadis secara mendiri.
Tidak banyaknya banyaknya literatur yang disusun oleh penulis Indonesia sendiri yang dijadikan bahan ajar di madrasah dan pesantren merupakan bukti bahwa kajian hadis bersifat pengenalan. Studi tingkat lanjut terhadap hadis belum dilakukan pada lembaga-lembaga ini. 
Menurut Martin van Bruinessen, para santri di pesantren memang akrab dengan hadis-hadis Nabi, tetapi hadis-hadis tersebut adalah materi “jadi” yang sudah diseleksi, diproses, dan dikutip untuk kepentingan suatu tema pembahasan. akibatnya para santri jarang yang tertarik untuk mempelajari tekstualitas, nilai, kualitas, dan kontektualitas hadis-hadis tersebut dariliteratur-literatur utama. Keadaan ini dapat dimengerti sebab dibandingkan dengan kalangan modernis Islam, masyarakat pesantren dimasa itu memiliki minat dan perhatian terhadap ilmu dirayah (kritik) hadis.
Di Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hasyim Asyari, kitab-kitab yang diajarkan sangat lengkap meliputi sebelas bidang kajian: al-Qur’an, Hadis, ilmu Hadis, Fikih, Bahasa Arab, Tauhid/Aqidah, Akhlak, TAsawuf dan Mantiq. Kitab-kitab kuning yang digunakan berdasarkan pola tingkatan: ula, wustha dan ulya. Studi hadis baru diberikan pada santri di level tingkat ulya. Yaitu kitab Mukhtar al-Hadis, al-’Arbain al-Nawawiy, Bulugh al-Maram, Jawahir al-Bukhari dan Minhat al-Mughit.
3. Kajian hadis di pondok pesantren
Corak pesantren di Indonesia yang rata-rata berorientasi kepada fiqih sufistik menandai pengaruh pendidikan Hijaz sebelum era WAhabi. Pesantren Indonesia tidak banyak terpengaruh dengan ide-ide pembaharuan Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh yang menekankan pendidikan keIslaman berorientasi pada al-Qur’an dan hadis secara langsung.
Dari gambaran di atas, maka dapat dipahami bahwa kajian hadis yang berkembang di pondok pesantren hanya sebatas pengajaran biasa. Kalaupun ada terdapat kajian untuk meneliti kualitas hadis, ini hanya terbatas pada karya-karya yang sudah ada dan terbatas untuk santri pada tingkat ulya saja.
Nurcholis Madjid mengatakan bahwa langkanya out put pesantren yang menguasai tafsir dan hadis. Ini terlihat bahwa tidak banyak produk pesantren yang mumpuni di bidang kajian tafsir, apalagi hadis. Keterikatan kalangan pesantren terhadap mazhab juga menjadi sebab mereka tidak leluasa mengelaborasi secara langsung dua sumber ajaran tersebut yaitu al-Qur’an dan hadis.
Bagi orang-orang pesantren, nilai ajaran al-Qur’an dan hadis telah dirumuskan sedemikian rupa dalam kitab-kitab kuning. Menjadikan kitab kuning sebagai referensi bukan berarti mengabaikan al-Qur’an dan hadis, melainkan justru mengamalkan ajaran keduanya. Pemahaman terhadap keduanyapun harus dilakukan melalui pemahaman kitab-kitab terdahulu yang dikarang oleh ulama salaf yang masa hidupnya lebih dekat dengan Rasulullah SAW dan sahabatnya. Upaya memahami al-Qur’an dan hadis secara langsung akan berakibat kepada suatu kesalahan.
D. Kesimpulan
Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan kajian hadis di kalangan pondok pesantren agak tertinggal dari ilmu-ilmu lain seperti fiqih, ushul fiqih, akhlak, tafsir, dll. Karena dalam banyak kasus, pesantren-pesantren di indonesia banyak yang menjadikan kajian fiqih dan ilmu alat sebagai kajian yang dominan di pesantren. Sementara kajian kritis terhadap hadis di kalangan pondok pesantren sangat minim sekali, dikarenakan pesantren fokus pada konsep amaliyah dari pada ilmiah.
Hadis-hadis Nabi yang mereka pelajari dari Kitab sumber asli yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menjadi inspirasi hukum dan patokan dalam segala tindakan amal kebaikan. Sedangkan kajian penelitian hadis sangat tidak populer dikalangan pesantren dikarenakan paradigma para santri masih mensakralkan posisi Rasulullah SAW dan orang-orang salaf. Sehingga dari segi pemahaman, kalangan pesantren lebih memilih memahami hadis secara tekstual dibanding memahami hadis secara kontekstual.  
Namun pada perkembanga abad XXI, kajian penelitian hadis ini sudah mulai diberikan kepada kalangan santri pada tingkat ulya, itu pun terdapat pada pondok-pondok pesantren tertentu saja yang telah mempunyai ciri khas tersendiri. Bahkan ada juga beberapa pondok pesantren yang menitikberatkan kajian hadis seperti Pondok Pesantren Darul Hadis al-Fiqhiyyah Ahl Sunnah wal jama’ah Malang, Ponpes Dahlan Ikhsan Blitar, Pondok Pesantren Hadist Kutubusittah, dll. Selain itu, perhatian Pemerintah pun terhadap perkembangan ilmu-ilmu di pondok pesantren juga sudah mulai ada. Budaya membaca kitab kunig di pesantren tidak lagi menjadi budaya lokal di kalangan santri setempat saja, akan tetapi sudah dijadikan budaya nasional dengan mengadakan ajang Musabaqah Qiratil Kutub NAsional (MQKN) di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Dalam MQKN tersebut terdapat cabang hadis dan ilmu hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinessen, Martin Van.  Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999

Chirzin, M. Habib  “Agama dan ilmu dalam Pesantren”,Pesantren dan Pembaharuan, ed. M. Dawam Rahardjo, Jakarta: LP3ES, 1988

Dhofier, Zamakhsyari.  Tradisi Pesantren :Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1994

Haedari, Amin dan El Saham, M. Ishom, Peningkatan Mutu terpadu, Pesantren dan Madrasah Diniyyah, Jakarta: Diva Pustaka, 2004
Haedari, Amin. Panorama PEsantren dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Diva Pustakam, 2004
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren Jakarta: INIS, 1994

Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997

Rochidin. Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Alfabeta, CV, 2004

Samsukadi, Muhammad. Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren, dalam Religi: Jurnal Studi Islam, vol.2. No. 1. april 2015
Sembodo Ari Widodo dkk., “struktur Keilmuwan Pesantren: Studi Komparatif antara Pesantren Tebuireng Jombang dan Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta”, Laporan Hasil Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2002, http://www.dipertais.net/istiqro/ist02-01.asp, (diakses 1 Januari 2015).

Tasrif, Muhammad. Studi Hadis di Indonesia, Telaah Historis terhadap Studi HAdis dari Abad XVII-sekarang”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an -Hadis). vol.5 No. 1, Jogyakarta: Fakultas UShuluddibn UIN Sunan Kalijaga, 2004

Umar, Nasaruddin, Melacak Nalar Salafi dalam Literatur Pesantren Salaf, dalam Jurnal Mihrab. Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI
Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-orang dari Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2007





Siapapun Bisa Berwakaf